MultiSig Wallet Security

Since time immemorial, security has been everyone’s concern. From keeping one’s life safe to safeguarding property ownership to wealth protection, security is tops against threats of loss or theft…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Backburner

Nugira Yuda, can be called as “Nugi / Yuda”
Ayana Gaintan, can be called as “Intan / Aya”
Hasan Soedardji, can be called as Hasan

“Cause maybe you’ll finally choose me after you’ve had more time.”

— — —

Gue bisa menyebut hidup gue kepalang sempurna.

Dengan orang tua yang baik dan perhatian, dengan pekerjaan impian yang sudah gue jalani selama empat tahun terakhir, dengan suasana kamar gue yang luas dan barang-barangnya tertata rapih, dan dengan Nugira Yuda yang selalu ada untuk segala urusan yang berhubungan dengan gue.

Nugi, panggilannya. Lelaki yang umurnya tiga tahun lebih tua daripada gue, yang selalu bangun kesiangan, yang selalu marah kalau panggilannya gue abaikan, yang selalu berusaha menjadi dirinya sendiri disaat semua orang berupaya menjadi sosok sempurna untuk menyenangkan orang lain.

Selama kurang lebih lima belas tahun gue dan Nugi menjalani apa yang kita sebut sebagai pertemanan. Berusaha saling ada dan datang ketika salah satu membutuhkan, berusaha saling menguatkan ketika salah satu merasa lemah dan hampir menyerah, berusaha saling mengerti ketika salah satu sulit mengendalikan diri.

Gue dan Nugi, adalah sepasang manusia yang selalu disebut punya hubungan istimewa padahal tidak ada yang lebih dari sekedar mengusap kepala atau meminjamkan pundak ketika salah satu dari kita merasakan luka. Tidak jarang dari mereka, menyebut Nugi dan gue lebih layak disebut sebagai pasangan serasi yang takdirnya adalah bersama sehidup semati.

“Main bumble lagi lu, Tan?”

“Iseng.”

“Idup yang bener-bener aja lah, berharap dapet apa sih dari aplikasi tolol itu?”

“Cemburu lo?”

“Memang ada hak?”

“Nggak.”

Percakapan singkat itu mungkin bisa menjelaskan sedikit bagaimana hubungan kita yang sebenarnya adalah memang murni hanya berteman dekat. Sangat dekat.

Semua terasa normal dan tidak ada yang salah dari apa yang sudah kita jalani, sampai pada akhirnya gue menyadari ada yang salah dalam diri gue.

Hal yang salah itu, adalah perasaan gue sendiri.

Gue berhasil menahan apa yang bisa disebut dengan perasaan cinta itu selama tujuh tahun, berpura-pura bahwa gue selalu bisa menetapkan batasan pada apapun yang menyangkut tentang pertemanan kita.

Gue tahu, bahwa sampai kapanpun, perasaan ini akan tetap seperti ini dan Nugi akan tetap menganggap gue tidak lebih dari sekedar apa yang sudah kita sepakati dari awal. Gue hanyalah Ayana Gaintan, gadis yang selalu merengek ketika Nugi mulai menggoda gue dengan membahas aib-aib memalukan gue yang dia tahu. Gue hanyalah Ayana Gaintan, yang selalu ada ketika Nugi kacau dan butuh seseorang untuk mendengarkan gurauan abstraknya. Gue hanyalah Ayana Gaintan, yang selamanya tidak bisa memiliki hati Nugira Yuda sepenuhnya.

Bermula dengan bagaimana gue mencoba memberikan afeksi yang tidak biasa dan terkesan berlebihan kepada Nugi, dan semua itu ia sambut dengan cara yang jauh dari ekspektasi gue.

“Lu kenapa dah, Tan? Biasanya juga gua kemanapun lu nggak nyari, ini kenapa tiba-tiba lu jadi khawatirin gua banget?”

Kalau aja lo tahu, Nug. Bahkan gue bisa teriak ke seluruh penjuru dunia tentang bagaimana dalamnya perasaan gue terhadap lo.

Pertemanan kita tidak pernah saling tuntut, hal itu yang membuat Nugi maupun gue merasa tidak terikat satu sama lain dan bebas mencari yang lain. Nugi, berulang kali mencoba kisah baru dengan beberapa teman perempuannya (kecuali gue pastinya). Dia tidak pernah absen untuk melaporkan apapun tentang perempuannya itu kepada gue, dia tidak pernah lupa untuk mengeluh ke gue jikalau perempuannya menyebalkan dan dia rasa sudah melewati batas sebagai kekasihnya.

Nugi itu adalah segalanya yang kompleks, dan gue adalah segalanya yang membiarkan hal-hal penting berlalu tanpa konteks.

Lelaki yang gue cintai itu punya segudang pemikiran dan preferensi yang bahkan gue pun masih mempelajari. Kita bukan menjalin hubungan yang akan menjadikan salah satu sebagai opsi terakhir saat masing-masing dari kita tidak punya pilihan lagi.

Karena sampai kapanpun, Nugi akan selalu punya banyak pilihan.

Dan sampai kapanpun, Gaintan akan selalu kehabisan kesempatan.

Lalu untuk kesimpulan tentang semua cerita yang sudah gue sampaikan barusan, adalah gue yang baru saja bertindak bodoh yaitu mengungkapkan segalanya kepada Nugi. Tentang kekhawatiran gue, tentang keadaan gue akhir-akhir ini, dan tentang perasaan gue terhadapnya.

“Gue serius, Nug.”

“Sejak kapan?”

“Around seven years ago?”

“Lu gila, Gaintan.”

“Gue kira jatuh cinta itu bukan sebuah kesalahan?”

“Memang bukan. Tapi kenapa sih, harus gua?”

Gue tidak pernah mengira bahwa respon Nugi akan seperti ini, bahkan ekspektasi yang gue bangun dalam kepala adalah jauh dari suasana ini.

“Gaintan, lu tuh…. sangat berharga buat gua dan orang banyak.”

“Okay, and then?”

“I’m not good for you, Intan. Have you ever realize that?”

“Kasih gue alesan lain.”

“Gua nggak punya perasaan yang sama kayak lu.”

Lalu kenapa, lo selalu ingin tahu segalanya tentang gue? Lalu kenapa, lo selalu mengutamakan gue bahkan melebihi keselamatan diri lo sendiri, Nug?

“Iya. Nggak apa. Gue juga nggak minta untuk dibales.”

Terlihat semburat ekspresi heran sekaligus bingung dari raut wajah Nugi. Gue tahu betul dia handal dalam hal memproses topik pembicaraan yang penting tentang dirinya maupun orang lain.

Lalu dengan terjadinya percakapan bodoh itu, perlahan Nugi menjauh dari gue. Dan tanpa sadar, gue pun melakukan hal yang sama. Mencari berbagai macam distraksi, menghindar dari segalanya yang berhubungan dengan Nugi, terus mencoba untuk menjalin hubungan dengan laki-laki yang sangat kepalang baiknya.

Dari banyaknya laki-laki yang gue temui, tidak ada satupun yang bisa membuat gue memikirkan mereka jika malam telah tiba, atau disaat gue berusaha memejamkan mata, atau disaat gue sudah di penghujung hari yang sangat melelahkan. Hingga pada suatu ketika, Tuhan mengijinkan gue untuk mengenal seseorang bernama Hasan.

Banyak waktu yang sudah gue habiskan bersamanya, membuat gue dan Hasan perlahan saling menerima dan saling mencari jika salah satu tidak muncul di depan mata. Hasan dengan segala tingkah aneh dan perspektif konyol itu berhasil membuat gue menilainya sebagai seseorang yang sederhana dan selalu punya cara. Ada satu hal yang paling penting di dalam diri Hasan yang membuat gue yakin bahwa mungkin ini adalah salah satu rencana Tuhan untuk gue.

Yaitu perihal perasaan tulus dan sentuhan tangannya yang begitu halus saat berusaha menenangkan gue dikala gue butuh. Nugi mungkin bisa menguasai hati dan perasaan gue, tapi presensi nya tidak pernah nyata.

Nugi ada, tapi hatinya nyaris tidak akan pernah bisa gue raih dan genggam sekuat tenaga.

Hasan ada, dengan perasaannya yang utuh dan semangat yang tidak pernah runtuh untuk sekedar melindungi atau membuat gue bahagia saat bersamanya.

Nugi tidak mempunyai perasaan yang sama dengan gue, tetapi Hasan tahu betul bagaimana cara menghargai setiap hal yang ada dihidupnya, salah satunya adalah dengan bicara terang-terangan kepada gue bahwa dia bersyukur karena telah dipertemukan oleh perempuan ceroboh dan susah diatur seperti gue.

“Nikah juga lu akhirnya.” Ada nada pilu tersirat di dalam sana, berusaha ditutup rapat agar siapapun tidak menyadari dan mengerti bagaimana perasaannya saat ini.

Nugi, kini apalagi?

“Berarti gue menang ya, Nug. Dulu pas SMA kita pernah taruhan siapa yang bakal nikah duluan, kan?”

Nugi tersenyum, menatap gue dengan tatapan yang selama belasan tahun ini ia berikan kepada gue.

Hangat, namun terasa kosong dan tidak utuh.

“Makasih ya, Intan.”

“Kok jadi lo sih, yang bilang gitu?”

“Gua tahu lu berusaha untuk selalu ada buat gua waktu itu, gua juga tahu kalau gua udah nyakitin perasaan lu. Maaf.”

“Gapapa, Nugi.”

“Maaf karena gua memilih bohong ketimbang jujur juga sama perasaan sendiri. Waktu itu yang ada diotak gua adalah gua nggak akan pernah cukup untuk melengkapi lu ataupun semuanya tentang kita, Tan.”

Butuh terlambat untuk merasakan sesal, butuh menolak untuk merasakan sesak.

Dan butuh sepuluh tahun untuk Nugi mengakui perasaannya.

“Tau nggak, Nug? Perasaan gue waktu itu nggak perlu dilengkapi. Gue jujur, karena gue mau lo tahu dan lo ngerti,”

Nugi mengubah pandangannya yang semula terpaku hanya pada sepatu fantofel kesayangannya, dan mulai perlahan mengangkat kepala hanya untuk sekedar melihat gue yang sedaritadi menatapnya.

“Lengkap sama utuh beda kali,” Lanjut gue, memberikan senyuman tipis hanya untuk sekedar sedikit mencairkan suasana. Jantung gue bahkan masih sama kacaunya seperti sepuluh tahun yang lalu, saat gue memutuskan untuk jujur tentang perasaan gue.

“Perasaan gue waktu itu utuh, Nug. Gue buat semuanya tentang lo, gue benci lo sama yang lain, gue nggak suka kalau lo nolak semua perhatian gue, gue sedih kalau lo tiba-tiba ngilang dan milih untuk nyimpen semuanya sendiri tanpa dibagiin ke gue. itu semuanya utuh buat lo, Nugi.”

Tidak seharusnya gue menangis, tidak seharusnya air mata sialan ini jatuh disaat gue mencoba untuk menjelaskan semuanya kepada Nugi. Bahkan gaun pengantin itu masih melekat di tubuh gue, sorakan dan gurauan dari banyak tamu undangan masih samar-samar masuk ke telinga gue.

Dan seharusnya gue tidak membiarkan Nugi meminta waktu gue untuk bicara empat mata, jauh dari kerumunan atau bahkan dari suami gue sendiri, Hasan.

“Gue pikir sahabatan aja cukup, gue pikir saling ada dibalik kata pertemanan itu cukup, tapi enggak, Nug. Gue nggak pernah merasa puas akan itu tapi gue sadar kita ini beda tujuan. Mungkin saat itu tujuan gue adalah menjadikan lo pusat dan segalanya bagi gue, tapi tujuan lo adalah menetap di sana dan menjalani apa yang udah kita jalani selama belasan tahun lamanya. Perasaan yang sama itu nggak cukup ya, ternyata? Kalau punya dua muara yang dituju, dua kapal itu juga nggak akan bisa ketemu di satu tempat kan?”

Tidak ada jawaban atas semua kalimat gue barusan. Tidak ada gestur sederhana sebagai balasan atas semua kalimat yang gue lontarkan. Nugi bisu, fokus pada deru nafas dan tatapannya yang semakin dalam.

Layaknya apapun yang selama ini gue lakukan untuk Nugi, yang selalu gue jalani dengan sepenuh hati dan ada secuil harapan tentang Nugi, semua hal yang gue keluarkan dari bibir gue sendiri ini tidak akan pernah terjawab sepenuhnya.

“Mau tahu nggak, apa perbedaan lo dan Hasan yang kontras tapi cuma bisa keliatan sama gue?”

Nugi diam, dia pasti berharap gue akan memberikan dia jawaban atas pertanyaan gue sendiri.

“Hasan mau jujur sama perasaannya sendiri, Nug.”

; f.

Add a comment

Related posts:

The Nuances

It happens at the break of the day And in soft evening hues Only seen in nature Not on the evening news. The nuances of life Rarely seen and hardly heard The whispers of the wind The soft song…

Ogrika Sunpaa

The Ogrika Sunpaa is the paramount example of the virtuous combination of technology and culture that informs the philosophy of Ogrika Industries. The opulent design, native to the Punaab culture, is…